Metode Penerjemahan
Masih dari
buku Rochayah Mahali, kali ini aku mencoba untuk meringkas metode-metode yang
bisa digunakan dalam proses penerjemahan.
a) Penerjemahan
kata demi kata
Dalam
metode penerjemahan jenis ini biasanya kata-kata Tsa (Teks sasaran) langsung
diletakkan di bawah versi TSu (Teks sumber). Kata-kata dalam TSu diterjemahkan
di luar konteks, dan kata-kata yang bersifat kultural (misalnya kata “tempe”)
dipindahkan apa adanya. Metode penerjemahan semacam ini mempunyai kegunaan atau
tujuan khusus, dan dalam paktik penerjemahan di Indonesia tidak lazim digunakan
sebagai penerjemahan yang umum. Biasanya metode ini digunakan untuk sebagai
tahapan prapenerjemahan pada penerjemahan teks yang sangat sukar atau untuk memahami
mekanisme BSu. Jadi, dalam proses penerjemahan, metode ini dapat dapat terjadi
pada tahap analisis atau tahap awal pengalihan.
b) Penerjemahan
harfiah
Kinstruksi
gramatikal bahasa sumber dicarikan paanannya yang terdekat dalam teks sasaran,
tetapi penerjemahan leksikal atau kata-katanya dilakukan terpisah dari konteks.
Metode ini bisa digunakan sebagai metode pada tahap awal pengalihan, bukan
sebagai metode yang lazim. Sebagai proses penerjemahan awal, metode ini dapat
membantu penerjemah melihat masalah yang harus diatasi.
c) Penerjemahan
setia
Metode
ini mencoba mereproduksi makna kontekstual teks sumber dengan masih dibatasi
oleh struktur gramatikalnya. Disini kata-kata yang bermuatan budaya
dialihbahasakan, tetap penyimpangan dari segi tata bahasa dan pilihan kata
masih tetap dibiarkan. Penerjemahan ini berpegang teguh pada maksud dan tujuan
TSu, sehingga hasil terjemahan kadang-kadang terasa kaku dan asing. Contoh
penerjemahan setia adalah penerjemahan kalimat Ben is too well aware that he is
naughty menjadi “Ben menyadari terlalu baik bahwa Ia nakal”. Meskipun maknanya
sanagt dekat dengan makna dalam TSu, versi TSanya terasa kaku, dan akan terasa
lebih wajar jika dipoles lagi dalam tahap penyerasian serta disesuaikan dengan
kaidah TSa menjadi “Ben sangat sadar bahwa Ia nakal”. Dalam penyerasian dengan
kaidah TSa yang tidak lagi bersetia dengan TSu ini, terjadi pergeseran bentuk
(dari frase too well menjadi “sangat”), dan pergeseran nuansa makna dalam
penyangatan yang tergantung dalam frase too well tersebut.
d) Penerjemahan
semantis
Penerjemahan
semantis lebih luwes daripada metode sebleumnya, penerjemhan semnatis juga
harus mempetimbnagkan unsur estetika teks bahasa sumber dengan mengkompromikan
makna selama masih dalam batas kewajaran. Selain itu, kata yang hanya sedikit
bermuatan budaya dapat diterjemahkan dengan kata yang netral atau istilah yang
fungsional. Penerjemahan semnatis lebih fleksibel. Sebagai contoh kalimat He is
book-worm yang diterjemahkan menjadi “ dia (laki-laki) adalah seorang yang suka
sekali membaca”. Hasil terjemahan tersebut bersifat fungsional (dapat
dimengerti dengan mudah), sekalipun tidak ada pemadanan budaya (yakni pemadanan
dengan menggunakan idiom serupa dalam BSa).
Keempat
metode diatas adalah metode yang lebih berorientasi atau lebbih menekankan
kepada bahasa sumber. Namun selain itu, penerjemah juga harus mempertimbngkan
hal-hal lain yang berkaitan dengan bahasa sasaran. Yaitu :
a. Adaptasi
(termasuk saduran)
Merupakan
metode penerjemahan yang paling bebas dan paling dekat dengan BSa (bahasa
sasaran). Istilah “saduran” dapat dimasukkan di sini asalkan penyadurannya
tidak mengorbankan hal-hal penting dalam TSu, misalnya tema, karakter, ataupun
alur. Tetapi dalam penerjemahan, terjadi peralihan budaya BSu ke budaya BSa,
dan teks asli ditulis ekmbali serta diadaptasikan ke dalam TSa. Biasanya metode
ini dipakai dalam penerjemahan drama atau puisi. Misalnya,
penerjemahan/penyaduran drama Shakespeare berjudul “Macbeth” yang disadur oleh
penyair terkenal W.S. Rendra. Ia mempertahankan semua karakter dalam naskah
asli, dan alur cerita juga dipertahankan, tetapi dialognya sudah disadur dan
disesuaikan dengan budaya Indonesia.
b. Penerjemahan
Bebas
Metode
ini merupakan penerjemahan yang mengutamakan isi dan mengorbankan bentuk teks
BSu. Biasanya, metode ini berbentuk parafrase yang dapat lebih panjang atau
lebih pendek daripada aslinya. Metode ini sering dipakai di kalangan media
massa. Contohnya :
TSu : (Time, May 28th, 1990) : Hollywood Rage
for Remakes”
TSa : (Suara Merdeka, 15 Juli 1990) : “Hollywood
Kekurangan Cerita : Lantas Rame-Rame Bikin Film Ulang”
Dari contoh diatas,
terlihat bahwa versi TSa lebih panjang daripada versi TSu, tetapi bagian isi
berita justru lebih pendek daripada aslinya. Di indonesia, metode ini dikenal
dengan metode “oplosan”. Metode ini mempuyai kegunaan yang sanagt khusus. Seorang
penerjemah seyogyanya sanagt berhati-hati dalam memilih metode ini sebagai
metode penerjemahannya serta memikirkan kapan dan apa tujuan penerjemahannya.
c. Penerjemahan
Idiomatik
Metode
ini bertujuan untuk mereproduksi pesan dalam teks BSu, tetapi sering dengan
menggunakan kesan keakraban dan ungkapan idiomatik yang tidak didapati pada
versi aslinya. Dengan demikian, banyak terjadi distorsi nuansa makna. Contoh :
TSu : mari minum bir sama-sama; saya yang
bayar
TSa : I’ll shout you a beer.
Dalam
terjemahan di atas, versi bahasa Inggrisnya (Australian Engslish) lebih
idiomatik daripada versi asli. Versi etrjemahan yang tidak terlalu idiomatik
(yakni terjemahan semnatis) dapat berbunyi “Let me buy you a beer”.
d. Penerjemahan
Komunikatif
Metode
ini mengupayakan reproduksi makna kontekstual yang demikian rupa, sehingga baik
aspek kebahasaan maupun aspek isi langsung dapat dimengerti oleh pembaca. Sesuai
dengan namanya, metode ini memeperhatikan prinsip-prinsip komunikasi, yaitu
khalayak pembaca dan tujuan penerjemahan. Melalui metode ini, sebuah versi TSu
dapat diterjemahkan menjadi beberapa versi TSa sesuai dengan prinsip-prinsip di
atas.
Sebagai
contoh penerjemahan kata spine dalam frase thorns spines in old reef sediments.
Apabila kata tersebut diterjemahkan untuk para ahli biologi, padanannya adalah
spina (istilah teknis Latin), tetapi apabila diterjemahkan untuk khalayak
pembaca yang lebih umum, kata tersebut dapat diterjemahkan menjadi “duri” (dari
Lokakarya Penerjemahan Fakultas Sastra Indonesia dengan Pusat Bahasa, 1993).
Dari
delapan metode penerjemahan di atas, ada yang bersifat umum dan ada pula yang
bersifat khusus. Yang sifatnya khusus, khusus pula penggunaan dan tujuan
penggunaannya. Dari metode-metode yang bersifat umum, hanya metode semantis dan
komunikatif yang memenuhi tujuan-tujuan utama penerjemahan, yaitu demi
ketepatan dan efisiensi sebuah teks.
Secara umum
dapat dikatakan bahwa metode penerjemahan semantis dilakukan dengan
mempertimbangkan tingkat kebahsaaanpenulis teks asli, sedangkan penerjemahan
komunikatif lebih memperhatikan tingkat kebahasaan pembaca. Penerjemahan
semantis sering dipakai dalam menerjemahkan teks yang ekspresif, sedangkan
metode komunikatif untuk teks yang informatif atau vokatif ( yang bersifat
imbauan).
Sekalipun
ada penekanan khusus pada kebermanfaatan metode penerjemahan semantis dan
komunikatif, semua metode penerjemahan itu tetap bermanfaat untuk menerjemahkan
berbagai jenis teks TSa dan untuk berbagai tujuan penerjemahan.
Untuk
pembasan tentang metode penerjemahan yang lebih rinci dan contoh yang lebih lengkap, bisa dilihat di
buku “Pedoman Menjadi Penerjemah” yang ditulis oleh Rochayah Machali. J J
0 komentar:
Posting Komentar