Minggu, 06 Maret 2016

Metode-Metode Penerjemahan


Metode Penerjemahan

Masih dari buku Rochayah Mahali, kali ini aku mencoba untuk meringkas metode-metode yang bisa digunakan dalam proses penerjemahan.

a)      Penerjemahan kata demi kata
Dalam metode penerjemahan jenis ini biasanya kata-kata Tsa (Teks sasaran) langsung diletakkan di bawah versi TSu (Teks sumber). Kata-kata dalam TSu diterjemahkan di luar konteks, dan kata-kata yang bersifat kultural (misalnya kata “tempe”) dipindahkan apa adanya. Metode penerjemahan semacam ini mempunyai kegunaan atau tujuan khusus, dan dalam paktik penerjemahan di Indonesia tidak lazim digunakan sebagai penerjemahan yang umum. Biasanya metode ini digunakan untuk sebagai tahapan prapenerjemahan pada penerjemahan teks yang sangat sukar atau untuk memahami mekanisme BSu. Jadi, dalam proses penerjemahan, metode ini dapat dapat terjadi pada tahap analisis atau tahap awal pengalihan.

b)      Penerjemahan harfiah
Kinstruksi gramatikal bahasa sumber dicarikan paanannya yang terdekat dalam teks sasaran, tetapi penerjemahan leksikal atau kata-katanya dilakukan terpisah dari konteks. Metode ini bisa digunakan sebagai metode pada tahap awal pengalihan, bukan sebagai metode yang lazim. Sebagai proses penerjemahan awal, metode ini dapat membantu penerjemah melihat masalah yang harus diatasi.

c)      Penerjemahan setia
Metode ini mencoba mereproduksi makna kontekstual teks sumber dengan masih dibatasi oleh struktur gramatikalnya. Disini kata-kata yang bermuatan budaya dialihbahasakan, tetap penyimpangan dari segi tata bahasa dan pilihan kata masih tetap dibiarkan. Penerjemahan ini berpegang teguh pada maksud dan tujuan TSu, sehingga hasil terjemahan kadang-kadang terasa kaku dan asing. Contoh penerjemahan setia adalah penerjemahan kalimat Ben is too well aware that he is naughty menjadi “Ben menyadari terlalu baik bahwa Ia nakal”. Meskipun maknanya sanagt dekat dengan makna dalam TSu, versi TSanya terasa kaku, dan akan terasa lebih wajar jika dipoles lagi dalam tahap penyerasian serta disesuaikan dengan kaidah TSa menjadi “Ben sangat sadar bahwa Ia nakal”. Dalam penyerasian dengan kaidah TSa yang tidak lagi bersetia dengan TSu ini, terjadi pergeseran bentuk (dari frase too well menjadi “sangat”), dan pergeseran nuansa makna dalam penyangatan yang tergantung dalam frase too well tersebut.

d)     Penerjemahan semantis
Penerjemahan semantis lebih luwes daripada metode sebleumnya, penerjemhan semnatis juga harus mempetimbnagkan unsur estetika teks bahasa sumber dengan mengkompromikan makna selama masih dalam batas kewajaran. Selain itu, kata yang hanya sedikit bermuatan budaya dapat diterjemahkan dengan kata yang netral atau istilah yang fungsional. Penerjemahan semnatis lebih fleksibel. Sebagai contoh kalimat He is book-worm yang diterjemahkan menjadi “ dia (laki-laki) adalah seorang yang suka sekali membaca”. Hasil terjemahan tersebut bersifat fungsional (dapat dimengerti dengan mudah), sekalipun tidak ada pemadanan budaya (yakni pemadanan dengan menggunakan idiom serupa dalam BSa).
Keempat metode diatas adalah metode yang lebih berorientasi atau lebbih menekankan kepada bahasa sumber. Namun selain itu, penerjemah juga harus mempertimbngkan hal-hal lain yang berkaitan dengan bahasa sasaran. Yaitu :

a.      Adaptasi (termasuk saduran)
Merupakan metode penerjemahan yang paling bebas dan paling dekat dengan BSa (bahasa sasaran). Istilah “saduran” dapat dimasukkan di sini asalkan penyadurannya tidak mengorbankan hal-hal penting dalam TSu, misalnya tema, karakter, ataupun alur. Tetapi dalam penerjemahan, terjadi peralihan budaya BSu ke budaya BSa, dan teks asli ditulis ekmbali serta diadaptasikan ke dalam TSa. Biasanya metode ini dipakai dalam penerjemahan drama atau puisi. Misalnya, penerjemahan/penyaduran drama Shakespeare berjudul “Macbeth” yang disadur oleh penyair terkenal W.S. Rendra. Ia mempertahankan semua karakter dalam naskah asli, dan alur cerita juga dipertahankan, tetapi dialognya sudah disadur dan disesuaikan dengan budaya Indonesia.

b.      Penerjemahan Bebas
Metode ini merupakan penerjemahan yang mengutamakan isi dan mengorbankan bentuk teks BSu. Biasanya, metode ini berbentuk parafrase yang dapat lebih panjang atau lebih pendek daripada aslinya. Metode ini sering dipakai di kalangan media massa. Contohnya :
TSu      : (Time, May 28th, 1990) : Hollywood Rage for Remakes”
TSa      : (Suara Merdeka, 15 Juli 1990) : “Hollywood Kekurangan Cerita : Lantas Rame-Rame Bikin Film Ulang”

Dari contoh diatas, terlihat bahwa versi TSa lebih panjang daripada versi TSu, tetapi bagian isi berita justru lebih pendek daripada aslinya. Di indonesia, metode ini dikenal dengan metode “oplosan”. Metode ini mempuyai kegunaan yang sanagt khusus. Seorang penerjemah seyogyanya sanagt berhati-hati dalam memilih metode ini sebagai metode penerjemahannya serta memikirkan kapan dan apa tujuan penerjemahannya.

c.       Penerjemahan Idiomatik
Metode ini bertujuan untuk mereproduksi pesan dalam teks BSu, tetapi sering dengan menggunakan kesan keakraban dan ungkapan idiomatik yang tidak didapati pada versi aslinya. Dengan demikian, banyak terjadi distorsi nuansa makna. Contoh :

TSu      : mari minum bir sama-sama; saya yang bayar
TSa      : I’ll shout you a beer.
Dalam terjemahan di atas, versi bahasa Inggrisnya (Australian Engslish) lebih idiomatik daripada versi asli. Versi etrjemahan yang tidak terlalu idiomatik (yakni terjemahan semnatis) dapat berbunyi “Let me buy you a beer”.

d.      Penerjemahan Komunikatif
Metode ini mengupayakan reproduksi makna kontekstual yang demikian rupa, sehingga baik aspek kebahasaan maupun aspek isi langsung dapat dimengerti oleh pembaca. Sesuai dengan namanya, metode ini memeperhatikan prinsip-prinsip komunikasi, yaitu khalayak pembaca dan tujuan penerjemahan. Melalui metode ini, sebuah versi TSu dapat diterjemahkan menjadi beberapa versi TSa sesuai dengan prinsip-prinsip di atas.
Sebagai contoh penerjemahan kata spine dalam frase thorns spines in old reef sediments. Apabila kata tersebut diterjemahkan untuk para ahli biologi, padanannya adalah spina (istilah teknis Latin), tetapi apabila diterjemahkan untuk khalayak pembaca yang lebih umum, kata tersebut dapat diterjemahkan menjadi “duri” (dari Lokakarya Penerjemahan Fakultas Sastra Indonesia dengan Pusat Bahasa, 1993).
Dari delapan metode penerjemahan di atas, ada yang bersifat umum dan ada pula yang bersifat khusus. Yang sifatnya khusus, khusus pula penggunaan dan tujuan penggunaannya. Dari metode-metode yang bersifat umum, hanya metode semantis dan komunikatif yang memenuhi tujuan-tujuan utama penerjemahan, yaitu demi ketepatan dan efisiensi sebuah teks.
Secara umum dapat dikatakan bahwa metode penerjemahan semantis dilakukan dengan mempertimbangkan tingkat kebahsaaanpenulis teks asli, sedangkan penerjemahan komunikatif lebih memperhatikan tingkat kebahasaan pembaca. Penerjemahan semantis sering dipakai dalam menerjemahkan teks yang ekspresif, sedangkan metode komunikatif untuk teks yang informatif atau vokatif ( yang bersifat imbauan).
Sekalipun ada penekanan khusus pada kebermanfaatan metode penerjemahan semantis dan komunikatif, semua metode penerjemahan itu tetap bermanfaat untuk menerjemahkan berbagai jenis teks TSa dan untuk berbagai tujuan penerjemahan.

Untuk pembasan tentang metode penerjemahan yang lebih rinci dan contoh yang lebih lengkap, bisa dilihat di buku “Pedoman Menjadi Penerjemah” yang ditulis oleh Rochayah Machali. J J


0 komentar:

Posting Komentar

 

Ryu Rizie Published @ 2014 by Ipietoon